Page 3 - Policy Brief
P. 3

3       Ketidakpastian penempatan ke negara penerima menambah frustasi pengungsi.


                  Secara global, data UNHCR menunjukkan hanya 34.400 orang yang mendapatkan pemindahan ke negara ketiga (resettlement) di
                  2020, hanya sepertiga dari tahun 2019, yaitu 107.800 orang. Begitu juga di tingkat nasional, Kemlu RI mencatat ada 1.271 pengungsi
                  dari Indonesia mendapatkan resettlement di negara penerima pada tahun 2016. Tapi hanya 509 pengungsi dari Indonesia yang
                  mendapat resettlement pada 2018. Angka ini diprediksi akan semakin turun mengingat pandemi Covid-19 membuat negara-negara
                  menutup perbatasannya dan fokus pada penanggulangan Covid-19 di negaranya dan pemulihan ekonomi, terlebih beberapa negara
                  seperti AS, Kanada, dan Australia semakin selektif dalam memberikan suaka dan mengurangi jumlahnya, bahkan melakukan
                  deportasi. Situasi tersebut tentu membuat proses resettlement menjadi lebih lama dan pengungsi tinggal lebih lama di Indonesia
                  tanpa kepastian.



















                                                      Sumber: UNHCR Indonesia
          4       Kurangnya kemampuan komunikasi berbahasa Indonesia pengungsi menjadi salah satu faktor
                  minimnya keterlibatan di kegiatan sosial masyarakat lokal.

                                                         Program  asimilasi  pengungsi  ke  masyarakat  lokal  sering  dilakukan  dan
                                                         disponsori oleh UNHCR, International Organization for Migration, lembaga
                                                         Pendidikan  dan  organisasi  non  pemerintah  lain,  seperti  dompet  duafa.
                                                         Aktivitas seperti pelatihan “Ready for Bussiness” selain untuk membekali
                                                         para pengungsi dengan keahlian khusus yang akan berguna kemudian hari,
                                                         juga mengisi waktu agar para pengungsi tidak jenuh. Selain itu, ada program
                                                         pelatihan Bahasa sebagai bekal pengungsi untuk berkomunikasi dengan
                                                         masyarakat lokal, namun tidak semua pengungsi lancar berkomunikasi yang
                                                         menjadikan  tantangan  bagi  pelaksanaan  program-  program  asimilasi.
                                                         Sebagai contoh, program wirausaha kreatif pembuatan tas dari bahan daur
                                                         ulang di Sumatera Utara melibatkan pengungsi perempuan dengan mentor
                                                         lokal  tidak  berjalan  lancar  karena  kendala  Bahasa  dan  menurut  mentor,
                                                         kurangnya  keinginan  pengungsi  untuk  belajar.  Kurangnya  minat  untuk
                                                         belajar  ditenggarai  karena  pengungsi  merasa  keberadaan  di  Indonesia
                                                         hanya  transit  sebelum  mereka  pindah  ke  negara  penerima.  Kendala
                                                         komunikasi juga terjadi pada proses ajar mengajar bagi anak pengungsi
                                                         yang mengikuti pendidikan formal di sekolah dasar dan menengah.
          5       Kurangnya akses pendidikan dan kesehatan, serta tidak adanya akses pekerjaan bagi pengungsi.


                  Pemerintah Indonesia menetapkan PP Nomor 78 tahun 2021 tentang perlindungan khusus bagi anak. Di dalamnya ada aturan
                  tentang penanganan pengungsi anak dari luar negeri yang digolongkan sebagai anak dalam kondisi darurat. Aturan itu juga
                  membuat pemerintah bertanggung jawab atas pemenuhan hak setiap anak yang ada di Indonesia, salah satunya Pendidikan. Untuk
                  itu sebenarnya sudah ada surat edaran mendikbud meminta daerah yang wilayahnya ditinggali pengungsi untuk menerima anak
                  pengungsi di sekolah formal. Sejak itu,hampir enam ratus anak pengungsi dan pencari suaka dari luar negeri sedang menempuh
                  pendidikan formal di sekolah dasar dan sekolah menengah di berbagai wilayah Indonesia. Namun, akses ke Pendidikan formal itu
                  masih terkendala isu status pengungsi yang bukan WNI untuk menentukan ijazah kelulusan, selain itu, pelayanan pendidikan dari
                  sisi kuota kursi di sekolah negeri masih kurang.
                  Dari segi kesehatan, masih mengandalkan UNHCR dan bantuan organisasi non Pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pengungsi.
                  Namun, pada masa pandemi, ada kerja sama pemerintah dan UNHCR untuk penanggulangan dan vaksinasi Covid-19 dengan
                  menggunakan kartu identitas UNHCR. Walaupun, selama ini untuk biaya dan pelayanan kesehatan bagi pengungsi masih cenderung
                  menunggu UNHCR karena tidak masuk anggaran dinas.

                  Pengungsi dilarang bekerja di Indonesia. Mereka juga tidak diperkenankan melakukan aktivitas yang menghasilkan uang. Kebijakan
                  ini memicu depresi pengungsi karena tujuan mereka bermigrasi mencari kehidupan lebih aman dan salah satunya mampu mandiri
                  dengan mencukupi kebutuhannya.


                                                          |
                                                POLICY BRIEF  NASIB PENGUNGSI: APA YANG INDONESIA BISA LAKUKAN?  3
   1   2   3   4