Page 2 - Policy Brief
P. 2

LATAR BELAKANG




           Laporan global 2021 dari Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (the United Nations High Commissioner for
           Refugees - UNHCR) menyebutkan ada sekitar 92 juta pengungsi di bawah mandat UNHCR. Sedangkan jumlah pengungsi di Indonesia
           berjumlah 13.343 orang dengan sebaran terbanyak di Jabodetabek, lalu Medan, kemudian Makassar dengan sekitar 57% pengungsi berasal
           dari Afghanistan, selebihnya dari Somalia, Sudan, Pakistan, Ethiopia, Irak, Yaman, dan Rohingya. Indonesia tidak meratifikasi Konvensi PBB
           tahun 1951 tentang pengungsi dan Protokol 1961, ini menjadikan Indonesia bukan negara penerima (host country) pengungsi, namun negara
           transit bagi para pengungsi, sebelum melalui proses penempatan kembali (resettlement) yang dilakukan oleh UNHCR dengan negara-negara
           konvensi pengungsi. Resettlement merupakan alternatif solusi permanen UNHCR terkait pengungsi, selain pemulangan kembali saat situasi
           kondusif (voluntary repatriation) dan integrasi ke masyarakat (local integration).

           Pada tingkat kerja sama internasional, Indonesia menginisiasi kerangka Bali Process. Hal itu sebagai upaya mendorong kerja sama yang
           melibatkan negara asal, negara transit, dan negara tujuan dalam mencari penyelesaian yang lebih menyeluruh terkait masalah migrasi illegal,
           seperti penyelundupan manusia, perdagangan manusia, dan kejahatan lintas batas lain. Walau bukan negara konvensi, Indonesia memiliki
           Perpres No.125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Secara normatif, Peraturan Presiden ini mengisi kekosongan
           hukum pengaturan pengungsi di Indonesia yang terdapat dalam UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.

           Masalahnya adalah Perpres No. 125 Tahun 2016 hanya mengatur saat pengungsi sampai pertama kali di wilayah kedaulatan Indonesia saja,
           untuk selanjutnya dilakukan pendataan dan penempatan oleh UNHCR. Kemudian menyerahkan urusan pengungsi ke UNHCR dan organisasi
           non pemeritahan lain. Imbas lain sebagai negara non Konvensi pengungsi, Indonesia tidak membolehkan pengungsi untuk bekerja dan
           mendapatkan akses lebih ke pendidikan,begitu juga untuk kesehatan. Sehingga praktis tidak banyak kegiatan yang bisa dilakukan oleh
           pengungsi dan kebanyakan dari mereka tidak merasa dimanusiakan karena tidak dipenuhi hak- hak dasarnya, terlebih tidak ada kepastian
           berapa lama waktu penempatan ke negara penerima.

           Kondisi ini semakin berlarut hingga menimbulkan dampak negatif, antara lain, kegelisahan pengungsi dan pencari suaka dengan latar
           belakang pendidikan dan pengalaman tidak diizinkan bekerja, kondisi tempat tinggal dinilai kurang layak, pengungsi anak-anak tidak
           terjamin pendidikan formalnya, dan minimnya jaminan kesehatannya. Ditambah masalah sosial yang dihadapi, seperti pelanggaran pidana,
           perselingkuhan, dan kecurigaan penduduk lokal akan keberadaan pengungsi. Situasi ini memunculkan permasalahan lain, yaitu rentannya
           pengungsi menjadi korban perdagangan manusia. Berbagai permasalahan ini juga membuat pengungsi mengalami masalah mental lalu
           bunuh diri.
           PENYEBAB PERMASALAHAN


          1       Belum ada kesamaan perspektif dan belum ada dasar hukum terkait keberadaan pengungsi

                  di Indonesia sebagai aturan lanjutan Perpres Nomor 125 Tahun 2016.

                  Perpres Nomor 125 Tahun 2016 patut diapresiasi karena menyamakan persepsi makna pengungsi sesuai Konvensi PBB Tahun 1951
                  tentang pengungsi. Selain itu, Perpres merupakan respon pemerintah dari kondisi darurat saat kedatangan pengungsi dan berlaku di
                  seluruh wilayah Indonesia. Namun, hal ini masih terbatas pada prosedur penanganan daripada pemenuhan hak. Seperti koordinasi
                  antar pihak terkait saat datang pengungsi, penempatan, dan segi keamanan, hingga penerapan Perpres ini dinilai belum optimal.1
                  Beragamnya intepretasi terhadap Perpres masih membuat tumpang tindih dalam pelaksanannya antara penegak hukum (TNI/Polri),
                  imigrasi, pemangku adat, dan aktor lain di lapangan. Multipersepsi ini tidak jarang memunculkan problem hukum di lapangan,
                  seperti tindak pidana terhadap nelayan saat upaya penyelamatan pengungsi Rohingya di Aceh. Hal ini karena aturan formal yang
                  seringkali tidak dimengerti nelayan. Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk revisi atau penjelasan lebih dari implementasi Perpres,
                  dan aturan lanjutan terkait pemenuhan hak dasar pengungsi.
          2       Kurangnya pengawasan terhadap mobilitas pengungsi.


                  Setelah hampir 400 warga Rohingya tiba di Indonesia, UNHCR melaporkan jumlah mereka saat ini hanya 112 orang. Hal ini
                  menunjukkan banyaknya titik jalur masuk-keluar orang di wilayah Indonesia, dan sebagai indikasi maraknya praktik penyelundupan
                  manusia. Para pengungsi Rohingya tersebut banyak yang pindah ke Malaysia melalui jalur illegal karena banyak kerabatnya di sana
                  dan mendapat info ada kesempatan bekerja walau illegal di Malaysia (seperti perkebunan dan restoran). Salah satu penyebab dari
                  maraknya migrasi illegal ini yaitu kosongnya aturan terkait keamanan pengungsi.
                                                   Rute pergerakan pengungsi Rohingya











                                                    Sumber: Yayasan Geutanyoe, 2022

                              |
             2     POLICY BRIEF  NASIB PENGUNGSI: APA YANG INDONESIA BISA LAKUKAN?
   1   2   3   4