Page 4 - Policy Brief
P. 4
LATAR BELAKANG
Terdapatnya disharmoni pengaturan dalam PP Nomor 106 Tahun 2021 dengan UU Nomor 2 Tahun 2021 yang mengamanatkannya
memunculkan ketidakjelasan arsitektur organisasi BP3OKP. Terlebih lagi belum adanya narasi yang dapat menyatukan semua aturan
yang berlaku dalam pelaksanaan pembangunan kesejahteraan di Papua dan Papua Barat berpotensi menimbulkan permasalahan
dalam proses penentuan kebijakan dan implementasi kebijakan tersebut di lapangan. Rekomendasi ini ditujukan kepada semua
stakeholders terkait dalam pelaksanaan pembangunan kesejahteraan di Papua dan Papua Barat.
1 Perlu adanya konsepsi yang disepakati bersama oleh semua stakeholders mengenai kewenangan
BP3OKP dan pengaturan dalam hal Inpres Nomor 9 Tahun 2020 dan Keppres Nomor 20 Tahun 2020
Konsepsi yang perlu disepakati adalah bahwa dana otonomi khusus bukanlah satu-satunya instrumen percepatan dalam
pelaksanaan pembangunan kesejahteraan di Papua dan Papua Barat. Dana otonomi khusus hanyalah satu dari empat jenis
dana pembangunan Papua yang lain (belanja K/L, belanja non K/L, transfer ke daerah, dan dana desa). Inilah yang menjadi
dasar mengapa keberlakuan Inpres Nomor 9 Tahun 2020 dan Keppres Nomor 20 Tahun 2020 masih dipertahankan dan belum
dicabut.
Posisi Wakil Presiden sebagai Ketua Dewan Pengarah dalam Tim Koordinasi Terpadu Percepatan Pembangunan
Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dan Ketua BP3OKP memang berpotensi menimbulkan kerancuan,
disebabkan oleh kesamaan obyek dan lokus, yaitu Papua. Namun, ternyata terdapat perbedaan jelas lingkup kewenangan
antara Tim Koordinasi dengan BP3OKP. BP3OKP yang dibentuk atas amanat UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi
Khusus tentunya lebih kepada pelaksanaan instrumen percepatan dana otonomi khusus, sementara Tim Koordinasi yang
diamanatkan dalam Keppres Nomor 20 Tahun 2020 dibentuk untuk memaksimalkan instrumen percepatan pembangunan
yang lain diantaranya dana yang bersumber dari belanja K/L, belanja non K/L, transfer ke daerah, dan dana desa. Hal ini bisa
dijadikan narasi integrasi antara Inpres Nomor 9 Tahun 2020, Keppres Nomor 20 Tahun 2020, dan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2021.
2 Perlu melihat pengaturan lain yang sudah ada sebagai contoh terbentuknya arsitektur organisasi
yang apik dalam pembentukan BP3OKP dan entitas yang membantunya
Perpres Nomor 91 Tahun 2015 tentang DPOD sebagai amanat dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah dapat menjadi contoh atau rujukan pengaturan arsitektur organisasi dari suatu pembentukan badan.
Di dalam dua aturan tersebut bahkan Permendagri Nomor 77 Tahun 2018 sebagai peraturan teknisnya, tidak terdapat
rumusan yang dapat berpotensi menimbulkan interpretasi perluasan norma. Entitas dalam tubuh DPOD diatur secara baik
sehingga tidak menciptakan ruang interpretasi ganda. Mulai dari kewenangan dan tugas Dewan, sekretariat, dan kelompok
kerja, kesemuanya tidak ada yang keluar dari norma yang ditetapkan dalam undang-undangnya. Efeknya pelaksanaan tugas
DPOD dapat dijalankan secara baik dan efektif.
MENYOAL ARSITEKTUR ORGANISASI BADAN PENGARAH
4 POLICY BRIEF | PERCEPATAN PEMBANGUNAN OTONOMI KHUSUS PAPUA

