Page 3 - Policy Brief
P. 3
Amanat pembentukan BP3OKP terdapat dalam Pasal 68A UU Nomor 2 Tahun 2021. Ayat (1) pasal tersebut mengamanatkan
pembentukan badan khusus yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Badan ini berfungsi untuk melakukan
sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi, dan koordinasi pelaksanaan otsus dan pembangunan di wilayah Papua.
Wakil Presiden ditunjuk sebagai Ketua, sementara anggotanya dijabat oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Bappenas,
Menteri Keuangan, serta 1 (satu) orang perwakilan dari provinsi yang ada di wilayah Papua. Selanjutnya, diamanatkan pula
pembentukan lembaga kesekretariatan yang berkantor di Papua. Lembaga kesekretariatan ini dibentuk untuk mendukung
pelaksanaan tugas BP3OKP. Ketentuan ini harus menjadi pedoman dalam penyusunan peraturan pelaksanaan dalam bentuk
PP yang memang diamanatkan dalam Pasal 68A ayat (4) UU Nomor 2 Tahun 2021.
Sementara itu, PP Nomor 106 Tahun 2021 sebagai peraturan pelaksana UU Nomor 2 Tahun 2021 justru membuka pengaturan
untuk menunjuk Sekretaris Eksekutif dan membentuk Kelompok Kerja di Daerah di luar pembentukan lembaga
kesekretariatan yang disebut dalam UU Nomor 2 Tahun 2021. Hal ini berpotensi menimbulkan perdebatan dari sisi hukum
dengan argumentasi bahwa susbtansi PP dianggap memperluas amanat dari UU Nomor 2 Tahun 2021 yang hanya
menyatakan untuk membentuk lembaga kesekretariatan yang berkantor di Papua untuk membantu BP3OKP.
Arsitektur organisasi yang baik, pernah diwujudkan dalam Perpres Nomor 91 Tahun 2015 tentang DPOD. Dalam Perpres
tersebut tidak ada rumusan yang dapat menimbulkan interpretasi perluasan norma UU yang mengamanatkannya. Perancang
peraturan tersebut berhasil membuat rumusan-rumusan pasal yang tidak menimbulkan multi interpretasi, sehingga
peraturan yang ada dapat dilaksanakan cenderung tanpa hambatan dan perdebatan. Hal ini tentu dapat menjadi contoh baik
(best practice) bagi pembentukan arsitektur organisasi suatu badan.
2 Belum adanya narasi integrasi antara Inpres Nomor 9 Tahun 2020, Keppres Nomor 20 tahun 2020,
dan UU Nomor 2 Tahun 2021
Bila membicarakan ruang lingkup pengaturan PP Nomor 106 Tahun 2021 sebagai peraturan pelaksana dari UU Nomor 2
Tahun 2021, maka akan menimbulkan pertanyaan, apakah hanya terbatas pada pembangunan Papua yang menggunakan
dana otonomi khusus atau tidak. Sebagaimana yang kita pahami bahwa dana otonomi khusus hanyalah salah satu bagian
dari proses pembangunan Papua. Dana otonomi khusus hanyalah satu dari empat jenis dana pembangunan Papua yang lain
(belanja K/L, belanja non K/L, transfer ke daerah, dan dana desa). Implikasinya adalah tidak semua program yang dilakukan
K/L dibiayai oleh dana otonomi khusus. Inpres Nomor 9 Tahun 2020 pun menyebutkan bahwa tidak semua K/L mempunyai
tugas dan tanggung jawab untuk mengelola dana otonomi khusus, hal tersebut semakin menguatkan persepsi bahwa
pembangunan Papua tidak melulu terkait dana otonomi khusus.
Persepsi tersebut dikuatkan kembali dengan pernyataan Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Kementerian Dalam Negeri (Drs.
Akmal Malik, M.Si) pada kegiatan Diskusi Terbatas yang dilaksanakan oleh Sekretariat Wakil Presiden pada tanggal 1 April
2020, yang menyebutkan bahwa dalam Ratas tanggal 11 Maret 2020, diputuskan hal-hal penting terkait kebijakan otonomi
khusus Papua, salah satunya adalah percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat tidak hanya menggunakan instumen
dana otonomi khusus, melainkan menggunakan pula instrumen percepatan lainnya.
Ketiadaan narasi integrasi ini berpotensi menimbulkan
kebingungan bagi para stakeholders terhadap pedoman dalam
pelaksanaan tugas masing-masing dalam melaksanakan
pembangunan kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat
MENYOAL ARSITEKTUR ORGANISASI BADAN PENGARAH
POLICY BRIEF | PERCEPATAN PEMBANGUNAN OTONOMI KHUSUS PAPUA 3

