Page 2 - Policy Brief
P. 2

LATAR BELAKANG




           Peran Wakil Presiden sepertinya tidak pernah bisa jauh dari urusan pembangunan di Papua. Perpres Nomor 66 Tahun
           2011  misalnya, membentuk UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan  Provinsi  Papua Barat) yang
           menempatkan Wakil Presiden sebagai Ketua Dewan Pengarah. Kemudian, di 2020, terdapat Inpres Nomor 9 Tahun 2020
           dan  Keppres  Nomor  20  Tahun  2020  yang  mengamanatkan  pembentukan  Tim  Koordinasi  Terpadu  Percepatan
           Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang kembali memberikan tanggung jawab
           kepada Wakil Presiden sebagai Ketua Dewan Pengarah. Terakhir, pada 19 Juli 2021, dengan diundangkannya UU Nomor 2
           Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua,
           Wakil Presiden kembali menerima amanat sebagai Ketua Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus
           Papua (BP3OKP).


           Dalam perjalanannya, pembentukan BP3OKP menimbulkan permasalahan utamanya bila dikaitkan dengan amanat UU
           Nomor 2 Tahun 2021 yang memberikan pedoman mengenai arsitektur organisasinya. Hal tersebut berdampak pada
           terganggunya  kelancaran  kinerja  badan  ditengah  harapan  efektivitas  pelaksanaan  tugas  dalam  pelaksanaan
           pembangunan kesejahteraan di Papua yang dapat terlihat dari hal-hal yang diuraikan di bawah ini.

           Sejak dibentuknya BP3OKP sebagai amanat Pasal 68A UU Nomor 2 Tahun 2021, seolah gegap gempita pembangunan di
           Papua hanya didasarkan pada pembentukan BP3OKP. Padahal, baik Inpres Nomor 9 Tahun 2020 maupun Keppres Nomor
           20 Tahun 2020 sampai saat ini masih berlaku sebagai bentuk strategi dan dasar hukum bagi semua stakeholders dalam
           pelaksanaan pembangunan di Papua. Kesemua aturan tersebut menempatkan Wakil Presiden dalam posisi strategis dan
           penting dengan obyek dan lokus yang sama, yaitu Papua. Oleh karena itu, perlu kehati-hatian dalam mendudukkan dan
           melaksanakan semua aturan yang berlaku tersebut.

           Pasal 68A UU Nomor 2 Tahun 2021 menempatkan Wakil Presiden sebagai Ketua BP3OKP yang hanya dibantu oleh
           Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Bappenas, dan satu orang perwakilan provinsi di Provinsi Papua
           sebagai anggotanya. Dibentuk pula lembaga kesekretariatan yang berkantor di Papua untuk membantu kerja BP3OKP.
           Hal ini berbeda dengan Tim Koordinasi Terpadu Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi
           Papua  Barat,  dimana  Wakil  Presiden  dibantu  lebih  banyak  kementerian/lembaga,  termasuk  gubernur  di  Papua.
           Perbedaan  ini  tentunya  membawa  makna  mendalam  bahwa  tanggung  jawab  pembangunan  di  Papua  tidak  bisa
           dilaksanakan bila hanya disandarkan pada BP3OKP, melainkan harus melibatkan semua K/L yang ada.


           Selain itu, sebagaimana diuraikan di atas bahwa UU Nomor 2 Tahun 2021 hanya mengamanatkan pembentukan BP3OKP
           dan lembaga kesekretariatan yang berkantor di Papua. Sementara itu, PP Nomor 106 Tahun 2021 sebagai peraturan
           pelaksana UU Nomor 2 Tahun 2021, justru membentuk entitas baru BP3OKP yang tidak diamanatkan dalam UU Nomor 2
           Tahun 2021. Dari sisi hukum, hal ini dapat menimbulkan pemahaman bahwa pengaturan dalam PP memperluas norma
           dari UU yang mengamanatkannya.


           PENYEBAB PERMASALAHAN


          1      Disharmoni Pengaturan BP3OKP dalam UU Nomor 2 Tahun 2021 dan PP Nomor 106 Tahun 2021


                  Amanat pembentukan BP3OKP terdapat dalam Pasal 68A UU Nomor 2 Tahun 2021. Ayat (1) pasal tersebut mengamanatkan
                  pembentukan badan khusus yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Badan ini berfungsi untuk melakukan
                  sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi, dan koordinasi pelaksanaan otsus dan pembangunan di wilayah Papua.

                                                     Wakil Presiden ditunjuk sebagai Ketua, sementara anggotanya dijabat oleh
                                                     Menteri Dalam Negeri, Menteri Bappenas, Menteri Keuangan, serta 1 (satu)
                                                     orang  perwakilan  dari  provinsi  yang  ada  di  wilayah  Papua.  Selanjutnya,
                                                     diamanatkan pula pembentukan lembaga kesekretariatan yang berkantor di
                                                     Papua. Lembaga kesekretariatan ini dibentuk untuk mendukung pelaksanaan
                                                     tugas BP3OKP. Ketentuan ini harus menjadi pedoman dalam penyusunan
                                                     peraturan pelaksanaan dalam bentuk PP yang memang diamanatkan dalam
                                                     Pasal 68A ayat (4) UU Nomor 2 Tahun 2021.



                               MENYOAL ARSITEKTUR ORGANISASI BADAN PENGARAH
             2     POLICY BRIEF   |  PERCEPATAN PEMBANGUNAN OTONOMI KHUSUS PAPUA
   1   2   3   4