Page 2 - Policy Brief
P. 2
LATAR BELAKANG
Sejak revolusi industri hingga saat ini manusia sangat bergantung kepada energi tak terbarukan (fosil) terutama minyak
bumi, batubara dan gas bumi. Karena energi telah menjadi kebutuhan mendasar yang terus meningkat seiring
pertumbuhan penduduk dan teknologi maka diperlukan strategi penyediaannya di tengah keterbatasan energi tak
terbarukan yang suatu saat akan habis. Selain persediaannya yang terbatas, energi tak terbarukan juga melepaskan
karbon dioksida ke atmosfer (emisi gas rumah kaca). Oleh karena itu diperlukan upaya serius mencari dan mengunakan
energi terbarukan berkelanjutan. Saat ini dunia bergerak cepat dalam mengurangi energi tak terbarukan dan beralih ke
energi bersih yang ramah lingkungan.
Indonesia kaya akan energi terbarukan dengan potensi lebih dari 400.000 MW, 50% diantaranya adalah potensi energi
surya. Menurut skenario International Energy Agency (IEA), energi surya dan angin diperkirakan memasok 70 persen
permintaan energi dunia pada 2050. Kapasitas terpasang PLTS pun diproyeksikan akan meningkat dari 160 gigawatt
(GW) pada saat ini menjadi 650 GW pada 2030. Namun persoalannya, pemanfaatan energi surya di Indonesia saat ini
masih tergolong rendah yaitu sekitar 150 MW atau 0,08% dari potensinya. Padahal, Indonesia adalah negara khatulistiwa
yang seharusnya bisa menjadi panglima dalam pengembangan energi surya. Permasalahan rendahnya pemanfaatan
energi surya untuk listrik berpotensi menimbulkan dampak tidak tercapainya target kapasitas terpasang energi surya
(hanya mencapai 11,51 persen dari target 13,42% pada 2020).
Sementara itu, Pemerintah telah menentukan arah kebijakan energi kedepan
yaitu transisi energi yang lebih bersih, minim emisi, dan ramah lingkungan. Hal
ini sejalan dengan komitmen Indonesia pada Paris Agreement yaitu penurunan
emisi gas rumah kaca. Potensi energi terbarukan yang dimiliki Indonesia berasal
dari energi surya, air atau hidro, bioenergi, angin, panas bumi (geothermal), dan
gelombang laut. Indonesia menargetkan komposisi bauran energi nasional pada
2025 akan terdiri dari EBT 23 persen, gas bumi sebesar 22 persen, minyak bumi
sebesar 25 persen, dan batu bara sebesar 30 persen. Dalam Rencana Umum
Energi Nasional (RUEN), pemerintah mempunyai target pengembangan tenaga
surya sebesar 6,5 GW hingga tahun 2025. Surya (fotovoltaik) ditargetkan
mewakili sepertiga (17.6 GW) dari total pembangkit listrik bersih sebesar 48 GW
pada tahun 2035 dalam grand strategi energi nasional yang dipersiapkan oleh
Kementerian ESDM dan Dewan Energi Nasional (DEN). Sekitar 60 atau 76 persen
diharapkan berasal dari tenaga surya skala utilitas termasuk PLTS terapung.
PENYEBAB PERMASALAHAN
1 Pada sektor hulu, biaya investasi pembangunan PLTS masih tinggi.
komponen PLTS masih tergantung impor. Komponen utama PLTS meliputi panel surya, inverter,
PLTS adalah Investasi PLTS masih menghadapi persoalan harga yang tinggi karena mayoritas bahan baku
pembangkit dan baterai listrik. Industri dalam negeri baru memiliki pabrikan panel surya dengan kapasitas
listrik yang rendah berkisar 40 megawatt, paling besar mungkin 100 megawatt, yang mengakibatkan bahan
mengubah energi baku pabrikan panel surya, masih dipasok dari luar negeri. Dengan demikian, harga panel surya
surya menjadi nasional menjadi lebih mahal dibandingkan negara lain, apalagi impor bahan baku panel surya
energi listrik dalam skala rendah, lalu pengolahannya pun kecil-kecil. Saat ini harga rata-rata solar panel
nasional mencapai 1 dollar AS per watt peak (WP). Harga tersebut jauh lebih mahal
dibandingkan dengan negara lain, seperti China yang hanya sebesar 20 sen per WP.
RENDAHNYA PEMANFAATAN ENERGI LISTRIK SURYA
2 POLICY BRIEF | DI TENGAH KHATULISTIWA

